Friday, November 11, 2011

Boleh Jadi Dia Benar

Sudah lama sekali tidak mengisi jurnal Si Sulung ini. Terakhir tiga tahun lalu. Sebenarnya bukan tidak menulis jurnal, tapi menulis di tempat lain. Baiklah, semoga mulai sekarang saya bisa melanjutkan apa yang sudah saya bikin di sini. Agar tidak termasuk golongan mereka yang mengurai benang setelah memintalnya. Insya Allah.

Si Sulung sekarang sudah 12 tahun, hampir 13. Tanda-tanda sebagai seorang remaja sudah tampak. Secara sosial, tampak perubahan sikap dari yang sebelumnya antusias bepergian, jadi malas ikut ke mana-mana, lebih senang menyendiri, mulai menimbang-nimbang dan menganalisa pergaulan dengan lawan jenis, dan lebih sensitif terhadap sikap/omongan orang di sekitarnya. Secara fisik, sekarang tingginya sudah 150, cuma beda 5 senti dengan ibunya. Tanda sebagai wanita dewasa juga sudah datang, yang beriringan dengan kulit yang tampak lebih berbinyak dibanding waktu kanak-kanak.

Hari ini Si Sulung akan dibawa konsultasi kulit ke Dr. Inong, di R.S. Permata Cibubur. Dokter ini pasiennya banyak sekali. Kalau mau daftar, hanya bisa dua hari sebelumnya, mulai jam 7 pagi, via telepon. Sudah beberapa kali saya coba daftar lewat telepon, tapi selalu saja gagal. Sepertinya, begitu pendaftaran dibuka, telepon langsung sangat sibuk karena banyak yang berlomba-lomba daftar. Setelah beberapa kali gagal, seorang sepupu yang anaknya juga pasien Dr. Inong, menyarankan datang langsung tanpa janji. Asal datangnya sebelum jam 6.30 pagi, Sabtu. Secara resmi, dokter praktek jam 8 pagi, tapi biasanya, beliau sudah siap menerima pasien jam 6.30. Jeda waktu sebelum jam praktek resmi, beliau berkenan menerima pasien tanpa janji yang bisa datang sedini itu.

Saya memutuskan membawa Si Sulung karena kemarin, Jumat sore, saat menjemput di boarding school, saya melihat perubahan yang cukup "mengganggu" di wajahnya. Muncul bintik-bintik kecil agak kemerahan yang merata, meski tidak terlalu tampak. Memang, waktu hari Senin mau berangkat ke boarding-school, saya memberinya pembersih wajah baru. "Vitamin E Gentle Facial Wash", yang diproduksi The Body Shop. Sebelumnya, Si Sulung coba-coba pakai pembersih wajah Ponds. Tapi,setelah kira-kira sebulan,dia merasa tidak cocok. Jerawatan. Sebelum Ponds, dia juga sudah pernah coba produk Clinique yang di kemasanya tertulis, "Allergy Tested". Hasilnya juga tidak begitu memuaskan.

Kulit Si Sulung memang sensitif sejak bayi. Di usia lima bulan, dokter di Jepang mengatakan bahwa dia mengidap atopi. Penyakit kulit bawaan lahir, yang diderita 9 di antara 10 bayi. Gatal dan luka di lipatan-lipatan kulit, juga tepi bibir. Terutama kalau makan sesuatu yang bisa memicu alerginya, seperti makanan-makanan pabrik yang mengandung pengawet/zat aditif lainnya. Menurut dokter, atopi ini bisa sembuh, seiring dengan bertambahnya usia anak.

Memang, sekarang, kulit Si Sulung sudah jauh lebih baik dibanding waktu kecil. Tidak lagi luka-luka. Tapi, kalau lagi stres, gatal-gatal bisa kambuh dan akhirnya bisa menyebabkan asma.

Ketidakcocokan dengan produk-produk perawatan kulit, mungkin efek lanjut dari bawaan lahir. Dia sempat mengeluh kesal karena kulitnya sulit dipelihara. Saya berusaha meyakinkannya bahwa di samping "kekurangan" yang ada di fisiknya, dia juga punya banyak kelebihan dibanding manusia lain. Masalah kulit yang ia idap bukan untuk dirutuki, tapi justru untuk membuka mata melihat nikmat-nikmat Tuhan yang lain.

Setelah tiba di pelataran R.S. Permata Cibubur, kami pun melangkah masuk. Di bagian pendaftaran, saya kemukakan kebutuhan konsultasi dengan Dr. Inong, dan sebab kami datang tanpa janji terlebih dahulu. Ternyata, beliau tidak praktek hari itu.

Kami melangkah keluar, dalam hati saya merasa letih. "Asyik, berarti saya masih bisa pakai pencuci muka ini," kata Si Sulung sambil menggenggam pencuci muka keluaran The Body Shop itu.

Mendengar itu, kontan saya merasa kesal, "Ya sudah. Pake saja sesukanya. Gak usah konsultasi di dokter segala."

"Mama, saya biasanya memang begitu kalau pakai produk baru. Kulit adaptasi dulu. Kan baru seminggu ini. Mungkin lama-lama cocok. Mama beli atau dikasih, pencuci muka ini?"

"Beli."

Dia tidak berkata-kata lebih lanjut, tapi saya merasa bisa menebak pikiran Si Sulung di balik pertanyaannya: sayang sekali sudah beli tapi tidak dipakai.

Tapi, saya juga tidak rela kulit anak saya jadi obyek percobaan. Tapi, lagi, saya mencoba meredam pemikiran itu. Boleh jadi, dalam hal ini, Si Sulung yang benar. Kulitnya masih dalam proses adaptasi. Baiklah, kita tunggu beberapa waktu lagi.

### Bambu Apus, 12 November 2011.

Sunday, February 24, 2008

Dibacakan Buku

Tadi siang saya mengembalikan buku perpustakaan yang dipinjam anak-anak dua minggu yang lalu. Sudah lewat sehari sebenarnya, tapi perpustakaan di sini tak memberi sangsi apa-apa. Setelah mengembalikan, saya kembali meminjam lima buku yang lain. Dua buah seri Peter Rabbit, tiga lainnya cerita rakyat; satu tentang hantu yang kena sihir, satu lagi tentang robot, dan satu lagi saya lupa.

Sebenarnya saya agak ragu untuk meminjam buku di perpustakaan, berat rasanya mengembalikannya. Khawatir tidak sempat, khawatir pula tak kesampaian membaca semuanya. Tapi saya pikir, acara meminjam buku di perpustakaan ini perlu bagi anak-anak. Tak apa mereka tak sempat membaca semuanya. Yang penting, mereka akrab dengan buku dan kebiasaan membaca.

Malam ini, dengan mata yang sudah berat saya tinggalkan suami dan adik ipar yang sedang makan malam di bawah. Saya janji tadi untuk membacakan cerita buat anak-anak, kata saya. Setelah mencuci muka, sikat gigi dan berwudhu di wastafel, saya pun naik ke atas.

Si Bungsu sudah tidur sejak dua jam yang lalu, kecapean seharian main tidak tidur siang. Si Tengah ternyata belum juga ganti baju tidur, ia belum berhasil menemukan semua perlengkapannya : kaos dalam musim dingin, baju luar, dan sweater. Sambil mencarikannya, saya katakan pada Si Sulung agar menunggu saya selesai salat, jangan tidur dulu. Mau saya bacakan buku.

Saya menyukai saat-saat keduanya pelan-pelan menutup mata "dalam buaian" bacaan buku. Apalagi bila adik mereka sudah lebih dulu tidur. Saya jadi bisa lebih konsentrasi melayani pertanyaan mereka. Dan tentu saja karena mereka dapat tempat tepat di samping saya, dua-duanya.

Tapi tak saya sangka, Si Sulung mengomentari permintaan saya tadi itu dengan perkataan yang mengharukan,

"Mama, kalau capek, tidak baca buku juga tidak apa-apa kok. Tapi, kalau mau juga ya tidak apa-apa."

Sunday, February 11, 2007

Orang Jepang Salah..., Bagaimana Kalau Kita yang Salah?

Si Sulung tadi bertanya, mengapa Bapak dan Ibunya bisa begitu yakin bahwa menjadi orang Islam adalah pilihan yang paling benar. Mengapa, pilihan orang Jepang menyembah matahari dan segala macamnya, adalah salah?

Saya termenung dengan pertanyaannya. Berat sekali menjawabnya. Saya cuma bisa bilang, "Nanti kalau kamu sudah semakin besar, Mama akan menjawabnya. Hanya saja, Mama dan Bapak memilih menjadi orang Islam dengan belajar. Bukan karena Nenek dan Kakek orang Islam, sehingga Mama dan Bapak menjadi orang Islam juga."

"Lalu, kenapa orang Jepang, apakah mereka tidak belajar?"

"Ya, banyak orang yang tak lagi merasa perlu belajar. Banyak yang merasa cukup dengan mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Dari dulu Jepang melakukan ini dan itu, sampai sekarang, orang-orang juga menurutinya."

"Oh, seperti cerita Nabi Nuh, ya Ma? Mereka tidak mau mendengar Nabi Nuh karena mereka sudah merasa cukup dengan ajaran orang tua."

"Ya, begitulah."

Dalam kepala saya jawabannya yang lebih kompleks menari-nari, tapi usia Si Sulung masih terlalu muda untuk menerimanya. Tentang perbandingan kitab-kitab, tentang logika penjagaan keotentikan kitab suci, tentang...

Ah Nak, Mama senang kamu bertanya seperti itu, di usiamu yang masih delapan tahun. Meskipun mungkin akan lebih berat nantinya mengajarimu, tetapi Mama berharap engkau akan menemukan jalan kebenaran itu dengan proses yang benar. Bukan doktrin, dan bukan ikut-ikutan.

Saturday, November 18, 2006

Terjemahan Doa

Musim dingin begini, lumayan berat buat Si Sulung untuk salat subuh. Kami pun bersama mengucapkan doa bangun tidur. Tak hanya lafaz doanya dalam bahasa Arab, tapi sekalian dengan terjemahannya : segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan aku setelah aku mati. Setelah itu berlanjutlah dialog, apakah memang orang tidur itu mati? Saya menjawab sederhana saja, orang tidur dalam banyak hal sama dengan orang mati : tidak bisa bicara, tidak melihat, tidak mendengar. Dan memang tidaklah mustahil orang tidur tidak bangun lagi, dan karenanya sudah sepatutnya kita bersyukur kalau bisa bangun lagi.

Tapi bukan itu sebenarnya intinya yang membuat saya merasa perlu datang ke komputer dan mencatat lintasan pikiran yang menggaggu, mendesak-desak di kepala minta disalurkan dalam bentuk huruf-huruf.

Saya jadi ingat masa kecil saya, sd, smp... Di mana saya diajari untuk menghafal beberapa lafaz doa. Juga surat al-Qur'an. Lalu saya merasa doa itu seperti mantra-mantra, yang karena mengucapkannya maka ada kekuatan sihir yang akan datang menolong saya. Lebih konyolnya lagi, ketika saya merasa kengerian sendirian di kamar, saya meletakkan al-Qur'an di dekat bantal saya, dan saya pun merasa lebih aman.

Padahal, saya kini yakin, masalahnya bukan pada lafaznya semata. Bukan pada masalah lembaran-lembarannnya, tulisan di atas kertas. Tapi lebih kepada pemahaman kita sendiri, semangat spiritual kita sendiri yang lahir di dalam hati, berpengaruh pada aura ruh kita, yang akan menentukan ampuh tidaknya lafaz-lafaz itu.

Kalau saya jadi guru agama di sekolah, saya tidak akan meminta murid-murid saya menghafal lafaz, tapi juga arti lafaz itu. Sedikit-sedikit, asal benar-benar paham.

Friday, November 3, 2006

Mulai Berinisiatif

Kemarin malam, Si Sulung pertama kali mencuci piring. Bukan mencuci satu-dua buah saja, tapi sekalian satu tempat cucian piring, dari sendok-garpu-sumpit, mangkok kecil-besar, piring kecil-besar, gelas kecil-besar.

Saya tidak ingat persis apa pencetusnya sehingga dia mau melakukannya. Kalau tak salah ingat, sepertinya ada yang dia lakukan sebelumnya dan kami memujinya, dan itu sangat menyentuh perasaannya.

Tadi pagi, saya mengucapkan terima kasih lagi padanya.

"Mama tertolong sekali kamu mencuci piring tadi malam."

"Kenapa?"

"Ya, coba bayangkan kalau kamu tidak mencuci piring. Pagi-pagi begini tentu sudah menumpuk membuat sakit kepala. Mau minum tidak ada gelas yang bersih, mau makan tak ada piring dan sendok yang bersih."

Setelah mengucapkan itu dia tak berkomentar apapun. Namun selang dua jam kemudian, saat sedang sarapan, dia kembali bertanya, "Mama, benar-benarkah sangat tertolong saya mencuci piring tadi malam?"
Ya, saya kembali mengiyakan. Sampai di situ. Saya tak ingin membesar-besarkan prestasinya secara terlalu berlebihan, karena pujian yang kelewatan biasanya berefek sebaliknya : menurunkan semangat.

Siang hari, saat saya sedang membereskan jemuran yang telah kering, Si Sulung berteriak dari bawah (kamar untuk menjemur ada di lantai dua), meminta saya menjatuhkan popok adiknya dan kain lap. Rupanya adiknya membuka sendiri celana panjang dan popoknya, lalu pipis di lantai. Si Sulung berinisiatif melap kencing adiknya, membasuh (mencebok) adiknya di kamar mandi, memakaikan popok baru, dan juga celananya.

Saya sungguh terharu. Saya katakan padanya, dia hebat sekali hari ini. Dalam hati, saya melihat ini sebagai satu fase baru dalam hidupnya. Sebuah perkembangan yang sangat saya syukuri. Tapi tentu tak sampai di situ saja. Masalahnya kemudian bagaimana memelihara dan memupuk satu sisi pribadi baik yang baru muncul ini. Salah bertindak, alih-alih menumbuhkan, bisa-bisa malah melemahkan. Menulis begini, buat saya, adalah salah satu cara saya memelihara dan memupuk itu : menyadarkan saya akan ingatan dan kesadaran renungan ini (syukur-syukur kalau dapat sharing pendapat dari teman yang lain).

Oh iya. Semalam, adiknya yang laki-laki itu merengek minta diizinkan juga mencuci piring. Tapi tidak saya iyakan, karena dia sudah sangat mengantuk dan tentu saja, di usia lima tahunnya, rasanya belum pas untuk mencuci piring sebanyak itu. Selain itu tentu saja karena kakaknya sudah lebih dulu melakukannya. Tapi, mendidik anak laki-laki ini untuk juga trampil mengerjakan pekerjaan rumah, sudah jadi agenda saya sebagai ibu. Saya tak ingin dia menjadi laki-laki 'asia', yang menganggap kelelakiannya membuatnya tidak pantas banyak mengerjakan pekerjaan rumah yang remeh dan kecil-kecil.

Tuesday, September 5, 2006

Tidak pergi ke Kumon

Tadi pagi, mata Si Sulung merah. Kata bapaknya, semalam dia baru tidur jam 11. Padahal biasanya jam 9. Saya tidak tahu apa yang dia kerjakan : apakah lagi tidak bisa tidur, atau karena mengerjakan pr matematikanya? Waker-nya bunyi jam 4.30 pagi, meskipun kemudian Bapaknyalah yang mematikannya dan dia akhirnya bangun jam 6. Matanya merah, dan saya agak khawatir dia akan jatuh sakit.

Hari ini ada olahraga berenang di sekolahnya, dan juga hari pertama sekolah penuh, dari jam 8 sampai jam 3. Ketika dia pulang, dia bilang tadi di sekolah ngantuk sekali. Untuk itu, saya minta dia tidur-tiduran saja dulu. Kebetulan memang ada kasur yang tergelar di depan televisi, di ruangan bawah, yang ada pendinginnya.

Barangkali juga cuaca yang berganti-ganti dari dingin ke panas, panas ke dingin ini yang membuat Si Sulung agak kelelahan. Dua hari yang lalu, Minggu, kami memang pergi ke tempat yang cukup jauh, ke Chiba. 3 jam dari rumah. Mau melihat Dinosaurus Expo, yang diadakan di Jepang dua tahun sekali. Pergi dari jam 7.20, sampai rumah kembali jam 8 malam. Senin keesokan harinya, saya masih merasa capai sekali. Tentunya anak-anak juga demikian halnya.

Sepulang sekolah ini, Si Sulung tidur nyenyak sekali. Tak berubah posisi. Saya tak tega membangunkannya untuk pergi kursus Kumon. Biarlah dia tidur. Biarlah bolos sekali ini. Saya tak ingin dia merasa dipaksa sewenang-wenang pergi kursus ini dan itu. Meskipun memang bayar Kumon itu cukup mahal, tapi bukankah "kesehatan jiwa" anak-anak itu juga cukup mahal untuk dipelihara?

Wednesday, July 19, 2006

Kepekaan Rasa Disiplin

Ketika Mama dan Bapak datang dulu, kami menetapkan gelas masing-masing orang. Mama warna hijau, saya dan ambonya 3F warna biru, Fatimah putih, Fadhl kuning. Ketika Mama dan Bapak sudah pulang, saya jadi tak begitu peduli dengan aturan gelas masing-masing orang. Apa yang bisa ada, itu yang dipakai.

Si Sulung lalu berkomentar, "Lalu buat apa kemarin kita mengatur warna-warna gelas? Tak ada gunanya dong."

Saya pikir, 'analisa' manfaat aturan dan kedisiplinan mulai tumbuh dalam diri Si Sulung. Kayaknya karena sudah terbiasa di lingkungan sekolahnya.

Peduli aturan memang kental di masyarakat sini, dan mereka terbiasa menganalisa sebab-sebab buruk bila tak mematuhi aturan.

Setiap waktu makan siang di sekolah, anak-anak diberi susu dalam kemasan kotak kardus. Anak-anak kelas satu, satu minggu sebelum mulai makan di sekolah, dilatih dulu bagaimana cara melipat kotak susu ketika mau dibuang. Kotaknya dipipihkan. Tujuannya, agar mobil pengangkut sampah tak penuh oleh kotak susu yang sebenarnya hanya berisi udara. Kalau dipipihkan, jadi bisa diangkut sekaligus lebih banyak.

Si sulung sensitif mengawasi saya buang sampah.