Saturday, November 18, 2006

Terjemahan Doa

Musim dingin begini, lumayan berat buat Si Sulung untuk salat subuh. Kami pun bersama mengucapkan doa bangun tidur. Tak hanya lafaz doanya dalam bahasa Arab, tapi sekalian dengan terjemahannya : segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan aku setelah aku mati. Setelah itu berlanjutlah dialog, apakah memang orang tidur itu mati? Saya menjawab sederhana saja, orang tidur dalam banyak hal sama dengan orang mati : tidak bisa bicara, tidak melihat, tidak mendengar. Dan memang tidaklah mustahil orang tidur tidak bangun lagi, dan karenanya sudah sepatutnya kita bersyukur kalau bisa bangun lagi.

Tapi bukan itu sebenarnya intinya yang membuat saya merasa perlu datang ke komputer dan mencatat lintasan pikiran yang menggaggu, mendesak-desak di kepala minta disalurkan dalam bentuk huruf-huruf.

Saya jadi ingat masa kecil saya, sd, smp... Di mana saya diajari untuk menghafal beberapa lafaz doa. Juga surat al-Qur'an. Lalu saya merasa doa itu seperti mantra-mantra, yang karena mengucapkannya maka ada kekuatan sihir yang akan datang menolong saya. Lebih konyolnya lagi, ketika saya merasa kengerian sendirian di kamar, saya meletakkan al-Qur'an di dekat bantal saya, dan saya pun merasa lebih aman.

Padahal, saya kini yakin, masalahnya bukan pada lafaznya semata. Bukan pada masalah lembaran-lembarannnya, tulisan di atas kertas. Tapi lebih kepada pemahaman kita sendiri, semangat spiritual kita sendiri yang lahir di dalam hati, berpengaruh pada aura ruh kita, yang akan menentukan ampuh tidaknya lafaz-lafaz itu.

Kalau saya jadi guru agama di sekolah, saya tidak akan meminta murid-murid saya menghafal lafaz, tapi juga arti lafaz itu. Sedikit-sedikit, asal benar-benar paham.

Friday, November 3, 2006

Mulai Berinisiatif

Kemarin malam, Si Sulung pertama kali mencuci piring. Bukan mencuci satu-dua buah saja, tapi sekalian satu tempat cucian piring, dari sendok-garpu-sumpit, mangkok kecil-besar, piring kecil-besar, gelas kecil-besar.

Saya tidak ingat persis apa pencetusnya sehingga dia mau melakukannya. Kalau tak salah ingat, sepertinya ada yang dia lakukan sebelumnya dan kami memujinya, dan itu sangat menyentuh perasaannya.

Tadi pagi, saya mengucapkan terima kasih lagi padanya.

"Mama tertolong sekali kamu mencuci piring tadi malam."

"Kenapa?"

"Ya, coba bayangkan kalau kamu tidak mencuci piring. Pagi-pagi begini tentu sudah menumpuk membuat sakit kepala. Mau minum tidak ada gelas yang bersih, mau makan tak ada piring dan sendok yang bersih."

Setelah mengucapkan itu dia tak berkomentar apapun. Namun selang dua jam kemudian, saat sedang sarapan, dia kembali bertanya, "Mama, benar-benarkah sangat tertolong saya mencuci piring tadi malam?"
Ya, saya kembali mengiyakan. Sampai di situ. Saya tak ingin membesar-besarkan prestasinya secara terlalu berlebihan, karena pujian yang kelewatan biasanya berefek sebaliknya : menurunkan semangat.

Siang hari, saat saya sedang membereskan jemuran yang telah kering, Si Sulung berteriak dari bawah (kamar untuk menjemur ada di lantai dua), meminta saya menjatuhkan popok adiknya dan kain lap. Rupanya adiknya membuka sendiri celana panjang dan popoknya, lalu pipis di lantai. Si Sulung berinisiatif melap kencing adiknya, membasuh (mencebok) adiknya di kamar mandi, memakaikan popok baru, dan juga celananya.

Saya sungguh terharu. Saya katakan padanya, dia hebat sekali hari ini. Dalam hati, saya melihat ini sebagai satu fase baru dalam hidupnya. Sebuah perkembangan yang sangat saya syukuri. Tapi tentu tak sampai di situ saja. Masalahnya kemudian bagaimana memelihara dan memupuk satu sisi pribadi baik yang baru muncul ini. Salah bertindak, alih-alih menumbuhkan, bisa-bisa malah melemahkan. Menulis begini, buat saya, adalah salah satu cara saya memelihara dan memupuk itu : menyadarkan saya akan ingatan dan kesadaran renungan ini (syukur-syukur kalau dapat sharing pendapat dari teman yang lain).

Oh iya. Semalam, adiknya yang laki-laki itu merengek minta diizinkan juga mencuci piring. Tapi tidak saya iyakan, karena dia sudah sangat mengantuk dan tentu saja, di usia lima tahunnya, rasanya belum pas untuk mencuci piring sebanyak itu. Selain itu tentu saja karena kakaknya sudah lebih dulu melakukannya. Tapi, mendidik anak laki-laki ini untuk juga trampil mengerjakan pekerjaan rumah, sudah jadi agenda saya sebagai ibu. Saya tak ingin dia menjadi laki-laki 'asia', yang menganggap kelelakiannya membuatnya tidak pantas banyak mengerjakan pekerjaan rumah yang remeh dan kecil-kecil.