Friday, January 27, 2006

Layang-Layang

Tujuh Tahun

Semakin punya tanggung jawab sebagai kakak tertua. Sudah mulai menghafal perkalian. Baru hafal lima surat pendek. Belajar baca Quran sampai iqra empat. Tapi itu gara-gara Mama dan Bapak tidak rajin ajari.

Mulai suka diskusi soal Tuhan di sekolah. Guru privat Bahasa Jepangnya, Ogie-Sensei, pernah bilang. Matahari adalah tuhan. Dia katakan : kalau betul begitu, kenapa sama awan, kalah?

Bersandar Pada-Nya

Mendung itu kelabu. Hujan itu membasahkan. Dingin itu merindingkan bulu kuduk. Sementara, tanya berulang itu makin mengilukan pendengaran: kapan mendung itu akan semakin kelabu, agar hujan itu tak lagi membuat basah, agar dipeluk dingin yang bisa mengubahnya jadi butiran-butiran yang melayang-layang pasrah dan singgah di mana pun takdir menentukan tempatnya? Kapan? Kapan, Bunda?

Tataplah langit itu. Tataplah pepohonan yang mengering. Dengarkan igauan gagak parau yang hitam bulunya sepertimenjanjikan kehangatan tanpa harga yang harus dibayarsang gagak. Semua itu ada bukan karena memang ada. Tapi karena ada yang mengadakan.

Apakah kau lupa, ketika kau takut ibu guru akan marah :kau lupa membawa pekerjaan rumahmu? Sambil jemarimu bertaut mencoba saling memberikan energi kehangatan, kau panjatkan doa pada sesuatu : buatlah ibu guru lupa tentang pe-er hari ini. Dan, ananda, ibu guru yang teliti itu memang telah dibuat lupa.

Doamu bukan pada pohon ajaib yang dipuja kawan-kawan sekelasmu. Pohon yang kabarnya bisa menyembuhkan sakit perut atau mengubah duka jadi bahagia. Kau tahu, pohon itu tak bisa melawan bila dipatahkan rantingnya. Doamu bukan pada matahari yang diagungkan gurumu sebagai sang penguasa alam. Karena katamu, bila matahari berkuasa, maka mengapa awan bisa meredupkan cahayanya. Doamu bukan kepada boneka Teru-Teru Bozu yang dipercaya kepala sekolah bisa menghentikan hujan.Tidak pula... tidak pula, jiwamu yang suci bersih itu tidak hanya menunggu dalam diam tentang sesuatu yang akan terjadi, maka terjadilah.

Karena itu, mengapa pula kita begini, tinggal diam dan hanya menatap langit yang baru setengah kelabu itu? Mari kita menautkan jemari kembali. Mari kita hidupkan rasa, hadapkan wajah hati pada Sesuatu itu. Wahai Yang mengedarkan malam kepada siang, Yang mengubah yang panas menjadi dingin, Yang menjadikan hijau subur jadi gersang, Yang kering jadi berbunga berbuah, pekatkanlah lagi gumpalan awan di langit itu. Dinginkanlah lagi bumi-Mu, karena kami ingin disiram butiran salju.

Kini, arahkanlah pandangan ke atas sana.Kau lihat : semakin deras, semakin deras. Mereka menari-nari, melayang menuju bumi. Bahkan juga tak enggan untuk melelehkan diri di telapak tanganmu.

Percayakah kau kini, kita selalu bisa bersandar pada-Nya.

Tapi, kau lemparkan sebuah tapi. Kau ingin butiran putih itu menumpuk. Kau ingin menenggelamkan kaki di dalamnya.Melihatnya membola di telapak tanganmu.

Tidakkah kau ingat pula. Rasa bosanmu dengan limpahan permen di pangkuanmu. Kau membuang-buangnya. Tapi ketika hanya sedikit, setiap pori-pori lidahmu bisa
rasakan lezat manisnya. Ananda, tanpa rindu kita tak mudah resapi hakikat nikmat. Pemberian yang sedikit demi sedikit, akan menuntun kita untuk selalu berdoa. Itulah skenario-Nya, agar kita selalu mau mendekat pada-Nya, agar tak lagi bersisa keraguan : bahwa Dia-lah sebaik-baik tempat bersandar.

Saturday, January 7, 2006

Today's Nihonggo Lesson

I have teached Mom this sentence :

Otousan, ayumi wo kakanai to neecha ikenai =
If father hasn't written the ayumi yet, he may not sleep

Ayah's First Japanese's Poems For Pachi

KARUTA (japanese poem)

Kanashi koto
Asobitai kedo
Yuki ga nai

(A pity story
Want to play
But there is no snow)

Salju

Ah, akhirnya ada juga salju yang turun. Senang sekali. Meski tidak sampai menumpuk. Mudah-mudahan nanti salju turun lagi.